JAKARTA – Aroma tak sedap kembali menyeruak di balik program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden terpilih Prabowo Subianto. Kali ini, seorang mitra dapur program MBG di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kalibata, Jakarta Selatan, berencana mengambil langkah hukum setelah merasa dirugikan nyaris Rp 1 miliar!
Kabar mengejutkan ini disampaikan oleh kuasa hukum mitra dapur tersebut, Danna Harly Putra.
Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta pada Selasa (15/4), Harly mengungkapkan bahwa kliennya, Ira Mesra Destiawati, hingga kini belum menerima pembayaran sepeser pun sejak dapur operasional pada Februari 2025 lalu.
“Maka, terhadap tindakan yayasan yang tidak membayarkan sepeser pun hak klien kami dalam pelaksanaan Makan Bergizi Gratis ini, kami akan mengambil langkah hukum,” tegas Harly dengan nada geram. Langkah hukum yang dimaksud tak main-main, yakni berupa gugatan perdata dan laporan pidana ke pihak kepolisian.
Kerugian yang dialami Ira Mesra Destiawati pun tak sedikit, mencapai angka fantastis Rp 975.375.000 atau hampir menyentuh angka Rp 1 miliar. Menurut Harly, kerugian sebesar itu dihitung dari sekitar 65.025 porsi MBG yang telah dimasak oleh kliennya dalam dua tahap pengerjaan.
Tak hanya soal pembayaran yang macet, Harly juga mengungkapkan kejanggalan lain. Sejak awal, kliennya tidak mengetahui adanya perbedaan harga per porsi MBG yang disiapkan untuk jenjang pendidikan PAUD, TK, hingga SD. Dalam kontrak perjanjian, tertulis bahwa biaya per porsi untuk seluruh jenjang adalah sama, yakni Rp 15.000.
Namun, kenyataannya, untuk siswa PAUD, TK, dan SD kelas 1-3 hanya dijatah Rp 13.000 per porsi, sementara siswa SD kelas 4-6 mendapat Rp 15.000 per porsi. Ironisnya, Ira baru mengetahui perbedaan harga ini setelah dapurnya sudah beroperasi. Akibatnya, ia terlanjur menyediakan MBG untuk siswa PAUD, TK, dan SD kelas 1-3 dengan porsi dan kualitas senilai Rp 15.000. Lebih lanjut, dari harga Rp 15.000 itu pun, masih ada potongan diskon sebesar Rp 2.500 per porsi.
“Itu semua Ibu Ira yang membiayai,” ungkap Harly, menggambarkan betapa beratnya beban yang ditanggung kliennya. Selain menanggung biaya bahan pangan, Ira juga harus merogoh kocek sendiri untuk biaya operasional dapur, mulai dari sewa tempat, peralatan, listrik, kendaraan, hingga gaji juru masak.
Harly menyebutkan bahwa Badan Gizi Nasional (BGN) sebenarnya telah melakukan pembayaran kepada pihak yayasan sebesar Rp 386.500.000. Namun, ketika Ira hendak menagih haknya, pihak yayasan justru menyatakan bahwa kliennya masih kekurangan bayar sebesar Rp 45.314.249 dengan alasan untuk kebutuhan di lapangan.
Merasa dipermainkan, Harly dan kliennya berharap upaya hukum ini dapat menjadi perhatian serius bagi pemerintah agar lebih ketat dalam mengawasi pelaksanaan program MBG. Mereka juga mendorong agar evaluasi terhadap program unggulan Prabowo tersebut dilakukan secara berkala.
“Agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi, dan kami harap segera diluncurkan tempat aduan untuk program MBG,” ujar Harly.
Atas dugaan penipuan dan perbuatan curang ini, Harly telah menyiapkan laporan polisi terhadap yayasan berinisial MBG tersebut. Mereka menduga pihak yayasan melanggar Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 372 KUHP tentang penipuan dan penggelapan. Kasus ini tentu menjadi catatan penting bagi kelancaran dan kredibilitas program MBG ke depan. (red)