Jakarta, – Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja dan dengar pendapat (RDP) yang cukup panas dengan sejumlah kepala daerah dan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (30/4).
Sorotan tajam tertuju pada kondisi keuangan daerah, terutama bagi provinsi kaya sumber daya alam seperti Sulawesi Tenggara (Sultra).
Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka, yang hadir langsung dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda, tanpa tedeng aling-aling memaparkan ironi yang dihadapi provinsinya.
Di hadapan para wakil rakyat dan Wamendagri, gubernur yang akrab disapa ASR ini mengungkapkan paradoks wilayahnya yang kaya nikel namun memiliki ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap pemerintah pusat, mencapai 65%.
“Ironis memang, daerah yang kaya sumber daya alam tetapi tingkat ketergantungan pada pusat masih sangat tinggi,” ujar ASR dengan nada prihatin.
Ia membeberkan bahwa kekuatan fiskal daerahnya hanya 34%, sebuah kondisi yang menurutnya tidak ideal mengingat potensi sumber daya alam yang melimpah.
ASR mencontohkan betapa mirisnya kondisi keuangan daerahnya hingga untuk membayar gaji ke-13 pegawai pun pihaknya harus “memaksa” perbankan daerah untuk membagikan dividen lebih awal. “Gaji saja, bahkan untuk gaji ke-13, kita tidak bisa penuhi. Akhirnya, apa yang saya lakukan? Saya panggil pihak bank segera untuk membagikan dividen agar kita bisa membayarkan gaji ke-13,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ASR menyoroti ketidakadilan dalam pembagian hasil kekayaan alam. Ia mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 69 perusahaan tambang nikel aktif di Sultra dengan total produksi mencapai 90 juta metrik ton per tahun.
Jika dihitung dengan harga konservatif, nilai bahan baku mentah nikel tersebut mencapai Rp 57 triliun. Namun, dana bagi hasil (DBH) yang diterima Sultra hanya sekitar Rp 800 miliar.
“Kan ironis. Saya bersama-sama dengan Ibu (Gubernur Maluku Utara) sudah menghadap ke berbagai kementerian untuk meminta penjelasan, tetapi penjelasan yang maksimal belum kita dapatkan,” keluhnya.
ASR juga menyoroti rendahnya kontribusi perusahaan tambang terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ia menuding banyak perusahaan yang beroperasi di wilayahnya tidak memenuhi kewajiban seperti penggunaan bahan bakar industri yang legal, pembayaran pajak air permukaan, retribusi kendaraan, hingga tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
“Saya lihat, Bapak, semua kendaraan yang beroperasi di sana tidak menggunakan plat nomor. Luar biasa. Berarti mereka tidak membayar retribusi,” tegasnya. Bahkan, ASR mengaku telah menghentikan operasional satu perusahaan tambang yang selama 18 tahun menggunakan jalan provinsi tanpa menyelesaikan kewajibannya.
Dengan nada penuh harap, ASR menyatakan jika seluruh kewajiban perusahaan tambang dapat direalisasikan, Sultra diyakini akan kembali berjaya dan ketergantungan fiskal terhadap pusat dapat ditekan hingga 30%.
Ia memperkirakan potensi pendapatan daerah dari sektor ini bisa mencapai Rp 600-700 miliar, yang dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan infrastruktur.
Selain masalah keuangan dan pertambangan, ASR juga menyampaikan sejumlah isu lain seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sultra yang masih berada di angka 71,6, tingkat kemiskinan yang signifikan, serta kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah yang masih berada di kategori “sedang”.
Ia juga menyinggung masalah pemekaran daerah dan status ribuan eks CPNS Kategori 3 yang menuntut untuk diangkat menjadi PPPK penuh waktu.
Rapat dengar pendapat ini menjadi potret buram pengelolaan sumber daya alam di daerah yang belum memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dan kemandirian fiskal.
Komisi II DPR RI diharapkan dapat menindaklanjuti keluhan dan temuan ini untuk mendorong kebijakan yang lebih adil dan menguntungkan bagi daerah penghasil sumber daya alam.
Wamendagri Ribka Haluk yang turut mendengarkan paparan tersebut diharapkan dapat menjadi jembatan antara pemerintah daerah dan pusat untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi Sultra dan daerah lainnya. (red)