Metropolis

Sektor Pertanian Dominan, Tapi Pengangguran di Sultra Justru Merangkak Naik

248
×

Sektor Pertanian Dominan, Tapi Pengangguran di Sultra Justru Merangkak Naik

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

KENDARI, – Kabar kurang sedap mewarnai geliat angkatan kerja Sulawesi Tenggara. Di tengah dominasi sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebagai penyerap tenaga kerja terbesar, angka pengangguran di provinsi ini justru menunjukkan tren kenaikan yang mengkhawatirkan. Data terbaru Februari 2025 mengungkap paradoks dalam struktur ketenagakerjaan Sultra.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah angkatan kerja di Sulawesi Tenggara melonjak signifikan, mencapai 1,43 juta jiwa, bertambah 29,76 ribu orang dibandingkan setahun sebelumnya. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pun ikut terkerek naik. Namun, ironisnya, peningkatan partisipasi ini berbanding terbalik dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai.

Plt. Kepala BPS Sulawesi Tenggara, Surianti Toar, dalam keterangan persnya awal pekan ini, mengungkapkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sultra justru merangkak naik. Pada Februari 2025, TPT menyentuh angka 3,27 persen, meningkat 0,05 persen poin dibandingkan Februari 2024, bahkan melonjak 0,18 persen poin jika ditarik mundur ke Agustus 2024.

Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan memang tampil sebagai bintang lapangan dalam penyerapan tenaga kerja. Tercatat, sektor ini berhasil menyerap tambahan 76,20 ribu pekerja dalam setahun terakhir. Namun, kontribusi signifikan ini belum mampu membendung laju pengangguran yang terus merayap naik.

“Peningkatan angkatan kerja yang cukup besar belum sepenuhnya diimbangi oleh pembukaan lapangan kerja baru di sektor lain,” ujar seorang analis ekonomi di Kendari yang enggan disebutkan namanya. “Sektor Perdagangan yang justru mengalami penurunan serapan tenaga kerja juga menjadi faktor yang patut dicermati.”

Data BPS juga menyoroti ketidakmerataan distribusi pengangguran. Kaum perempuan di Sulawesi Tenggara tercatat lebih rentan menjadi pengangguran dibandingkan laki-laki. TPT perempuan pada Februari 2025 mencapai 3,96 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan TPT laki-laki yang hanya 2,81 persen.

Selain itu, jurang pengangguran antara wilayah perkotaan dan perdesaan juga semakin lebar. TPT di wilayah perkotaan mencapai angka mencolok, 5,47 persen, berbanding terbalik dengan wilayah perdesaan yang hanya 1,92 persen. Fenomena urbanisasi dan terbatasnya lapangan kerja di perkotaan diduga menjadi salah satu pemicunya.

Secercah harapan muncul dari meningkatnya proporsi pekerja di sektor formal. Pada Februari 2025, 37,04 persen pekerja di Sultra bekerja di sektor formal, naik 2,55 persen poin dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, peningkatan ini dinilai belum cukup signifikan untuk menekan angka pengangguran secara keseluruhan.

Kondisi paradoks di pasar kerja Sulawesi Tenggara ini menuntut respons cepat dan terukur dari pemerintah daerah. Dominasi sektor pertanian sebagai penyerap utama tenaga kerja perlu diimbangi dengan pengembangan sektor-sektor lain yang memiliki potensi besar, seperti pariwisata, industri pengolahan, dan ekonomi kreatif.

“Pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk menarik lebih banyak lapangan kerja berkualitas di luar sektor pertanian,” tegas pengamat ekonomi tersebut. “Selain itu, program peningkatan keterampilan dan pelatihan kerja yang menyasar angkatan kerja muda dan perempuan di wilayah perkotaan juga mendesak untuk diimplementasikan.”

Jika tren kenaikan pengangguran ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin potensi pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara akan tergerus, dan kesejahteraan masyarakat pun akan terancam. Sektor pertanian yang perkasa saja ternyata belum cukup untuk menjamin ketersediaan pekerjaan bagi seluruh angkatan kerja yang terus bertambah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!