JAKARTA – Seleksi calon aparatur sipil negara (CASN) untuk guru kembali menjadi sorotan tajam.
Ketua Umum Ikatan Guru Sertifikasi Swasta (IGSS) PLPG Indonesia, Eka Wahyuni, menilai bahwa sistem tes yang diterapkan pemerintah selama ini justru memicu gejolak dan praktik culas yang merugikan guru-guru profesional. Bahkan, Eka tak ragu menyebut adanya fenomena ‘guru-guru siluman’ atau ‘ASN-ASN siluman’ yang lolos tanpa tes atau dengan jalur instan.
Eka Wahyuni, pada Senin, 9 Juni 2025, mengungkapkan bahwa carut-marut rekrutmen CASN guru terjadi di berbagai lini.
“Ada yang lulus tes tetapi tidak menjamin lolos memperoleh SK dan NIP, namun ada yang bisa lolos meski tanpa harus mengikuti tes,” ungkap Eka, membuka tabir persoalan.
Masalah lainnya, lanjut Eka, adalah keterbatasan formasi dan kuota, tidak adanya formasi yang diinginkan pelamar, serta lokasi formasi yang jauh dari domisili guru. Ini menjadi pertimbangan berat, terutama bagi guru perempuan yang sudah berkeluarga.
Guru swasta, tambahnya, masih harus berhadapan dengan izin dari yayasan untuk mengikuti tes atau bahkan harus mengundurkan diri. “Kendala-kendala administratif yang tidak ada kaitannya dengan profesionalisme guru selalu menjadi hambatan guru untuk memperoleh status ASN,” tegas Eka.
Eka Wahyuni merasa bahwa rekrutmen berbasis tes bukanlah formula yang tepat dan adil untuk menata status kepegawaian dan karier guru. Ia menekankan permasalahan yang jarang disorot masyarakat, yakni lahirnya ‘guru-guru siluman’ atau ‘ASN-ASN siluman’. “Fakta ini tak bisa kita pungkiri memang benar adanya. Setiap tahun, setiap kali tes CASN diselenggarakan, maka siluman-siluman tersebut selalu ada,” tutur dia.
‘Honorer-honorer siluman’ ini, yang mayoritas berada di sekolah negeri, diindikasikan menghalalkan segala cara demi memperoleh status ASN. Mereka diduga masuk melalui jalur instan tanpa mengikuti tes, atau bahkan bisa lolos meski tanpa lulus tes, dengan bantuan ‘orang dalam’ (ordal) pejabat nakal. Imbalannya? Uang puluhan juta rupiah.
“Honorer-honorer siluman tersebut sebelumnya juga sudah berlaku curang masuk dapodik (Data Pokok Pendidikan) sekolah negeri dengan bantuan ordal meskipun mayoritas tidak mengajar hanya sekedar menumpang data. Ini dikarenakan adanya jaminan prioritas ASN yang hanya diberlakukan bagi honorer di sekolah negeri,” jelas Eka. Aturan diskriminatif ini dinilai jauh dari rasa keadilan karena memprioritaskan guru tertentu namun mengabaikan hak-hak guru lainnya.
Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa rekrutmen tes kerap menjadi “kesempatan dalam kesempitan” bagi oknum ASN dan pihak tak bertanggung jawab untuk membagi-bagi jatah ‘cuan haram’. “Namun, mengapa pemerintah selalu menutup mata terhadap adanya kecurangan tersebut? Di tengah gencarnya efisiensi anggaran negara, seharusnya rekrutmen tes ditiadakan jika mengingat akibat-akibat yang ditimbulkan, terbukti hanya menghamburkan sia-sia uang negara,” tegas Eka.
Menurut Eka, solusi cerdas dan bijak untuk menyelesaikan carut-marut pelaksanaan rekrutmen tes adalah menghentikan rekrutmen tes seleksi CASN.
Ia mengusulkan penerapan jenjang karier ASN Guru berdasarkan masa kerja, yang berlaku untuk semua guru, tak terkecuali guru swasta. “Solusi ini amat logis dan berkeadilan karena memberikan peluang yang merata dan menyeluruh kepada semua guru secara sistematis, terarah, bersih, dan jujur, tidak ada rekayasa dan manipulasi data,” tuturnya.
Selain itu, solusi ini tidak hanya menghentikan lahirnya ASN-ASN siluman, tetapi juga dapat menciptakan budaya antre dan budaya kerja yang lebih positif. “Sehingga, mewujudkan pemerataan kesejahteraan berdasarkan masa kerja, tanpa harus menunjukkan superioritas,” ujar Eka.
Penerapan jenjang karier ASN Guru berdasarkan masa kerja, menurutnya, amat logis untuk pemerataan kesejahteraan seluruh guru di mana pun tempat pengabdiannya. (red)