PADA Maret 2024 silam, publik dibuat geram oleh praktik curang yang dilakukan sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU. Mereka berlaku jahat dengan mencampur pertalite dengan zat pewarna lalu menjualnya sebagai pertamax.
Menurut Bareskrim Polri yang menangani perkara tersebut, ada 17 kasus kecurangan oleh SPBU sejak Januari. Sebanyak 67 orang ditetapkan sebagai tersangka, mulai operator hingga manajemen. Mereka maling uang rakyat dengan menjual pertamax rasa pertalite.
Tujuh tersangka sudah ditetapkan. Ada Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International Agus Purwono, dan Dirut PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi. Lalu, dari swasta ada Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, serta Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.
Jika para bos yang bermain, barang yang dipermainkan tentu tak main-main. Modusnya menyeramkan. Mereka, misalnya, mengondisikan produksi minyak dalam negeri berkurang dan tidak ekonomis sehingga perlu impor. Lalu, mereka melakukan mark-up kontrak pengiriman minyak impor. Sudah untung dari impor, kontraknya di mark-up pula. Edan, kan?
Modus lain tak kalah serem. Modus yang tak cuma merugikan negara, tetapi juga langsung merugikan rakyat. Coba simak keterangan Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar ini. Kata dia, pelaku diduga mengimpor BBM dengan kualitas RON 90 (setara pertalite) dan RON 88, dioplos dulu di storage di Merak, Banten, lalu melepasnya dengan tipe RON 92 alias pertamax. Ini mirip dengan kelicikan pengelola sejumlah SPBU, tapi levelnya lebih mengerikan.
Mengerikannya lagi, praktik lancung itu sudah berlangsung lima tahun sejak 2018. Tidak tahu bagaimana pengawasannya. Entah apa yang dikerjakan para komisaris atau para pihak terkait. Jangan tanya berapa banyak kerugian negara. Tak tanggung-tanggung, mencapai Rp193,7 triliun. Karena itu, sungguh patut para pelaku dijerat dengan pasal korupsi.
Apakah pertamax abal-abal hasil persekutuan jahat para pelaku itu dijual ke rakyat Indonesia? Pihak Pertamina, sih, berusaha meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dalam penjualan BBM di dalam negeri. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari bilang, produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi sesuai dengan RON masing-masing, yakni pertalite dan pertamax.
Dia jelaskan tindakan di terminal utama BBM ialah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat. Juga ada injeksi additive untuk meningkatkan performa produk pertamax. ”Jadi, bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas pertamax,” begitu ucapnya.
Layak dipercayakah klaim itu? Banyak yang bilang enggak. Termasuk saya. Kalau memang begitu adanya, terus dijual ke mana pertamax oplosan hasil kongkalikong para pelaku? Diekspor lagi? Kiranya negara lain tak bodoh-bodoh amat mau membeli pertamax palsu. Rasanya pengelola negara di luar sana tak sejahat di Negeri Konoha.
Dalam perkara ini, saya lebih percaya Kejagung yang sudah meminta keterangan 96 saksi, dua ahli, serta menyita 969 dokumen dan 45 barang bukti elektronik. Soal sahih-tidaknya, biarkan pengadilan yang nanti memutuskan. Jika benar, zalim betul para pelaku.
Sial benar rakyat yang berniat baik untuk tidak mengonsumsi BBM bersubsidi, yang setia produk Pertamina atas dasar cinta pada negara, tetapi malah menjadi korban para pemangsa. Apes nian mereka yang berharap pada BBM berkualitas kendati harus merogoh kantong lebih dalam, tetapi malah menjadi korban tipu-tipu para elite yang nggragas. Kiranya keraguan banyak orang ihwal kualitas pertamax mulai menemukan pembenaran. Jangan-jangan istilah ‘pertamax adalah pertalite yang nggak ngantre’ memang terbukti.
Dugaan masih adanya patgulipat tata niaga BBM mengonfirmasi bahwa korupsi di negeri ini tetap, bahkan semakin ngeri. Koruptor dan calon-calon koruptor mengerti bahwa negara setengah, seperempat, atau malah seperdelapan hati untuk memerangi.
Mereka korupsi bukan karena butuh. Mereka bukanlah wanita tua bernama Ngatinah yang mencuri kue di Pasar Niten, Bantul, DIY, Agustus 2023, karena lapar. Mereka bukan AAP, remaja yatim berusia 17 tahun di Pati, Jawa Tengah, yang pertengahan bulan ini kedapatan nyolong pisang lalu diarak massa, karena dia dan adiknya perlu makan.
Mereka ialah manusia yang sandang, pangan, dan papannya sudah berlebihan. Untuk pendapatan resmi saja, direksi PT Pertamina Patra Niaga pada 2023 menerima sekitar Rp21,8 miliar per tahun atau Rp1,8 miliar lebih per orang per bulan. Masih kurang? Kata filsuf Romawi, Cicero, korupsi ada karena kerakusan untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan.
Skandal pertamax abal-abal adalah alarm kelewat keras bagi negara bahwa korupsi tak bisa lagi dilawan hanya dengan orasi. Pak Prabowo, rakyat tak sabar menunggu aksi nyata dari janji yang berulang Bapak suarakan untuk memberangus kejahatan luar biasa itu. (red)