PERDETIK, – Di balik hingar-bingar lampu malam dan gemuruh aktivitas sebuah kota besar di Jawa, tersimpan kisah-kisah kelam yang sering tak terjamah.
Salah satunya adalah perjalanan Rina (bukan nama sebenarnya), 24 tahun, yang terpaksa menyerah pada jeratan “dunia malam”, jauh dari impian masa kecilnya yang sederhana di desa.
Kisahnya menjadi cermin nyata dari kerentanan sosial dan ekonomi yang mendesak banyak wanita muda ke tepi jurang.
Rina berasal dari sebuah desa kecil di pelosok Jawa Tengah, sebuah tempat di mana matahari terbit masih menjadi penanda dimulainya hari dengan pekerjaan di sawah.
Ia datang ke kota ini beberapa tahun lalu, membawa serta harapan besar untuk mengubah nasib keluarganya. Namun, dengan pendidikan yang terbatas dan minimnya jaringan, mencari pekerjaan formal yang layak menjadi tantangan yang hampir mustahil.
“Awalnya saya bekerja serabutan, apa saja yang ada,” tutur Rina dengan suara pelan, matanya memancarkan kelelahan yang mendalam. “Tapi penghasilannya tidak pernah cukup. Saya sering kelaparan, dan keluarga di rumah juga butuh biaya.”
Keputusasaan karena tekanan ekonomi yang tak berkesudahan menuntun Rina ke persimpangan jalan yang gelap. Tawaran pekerjaan dengan iming-iming penghasilan fantastis, meski tak jelas asal-usulnya, menjadi satu-satunya cahaya di tengah kegelapan yang ia rasakan. Rina tak pernah menyangka, tawaran menggiurkan itu adalah jebakan yang akan menariknya ke dalam pusaran eksploitasi dan bahaya.
Rina memulai petualangan pahitnya sebagai pelayan di sebuah kafe remang-remang. Lingkungan baru yang asing, ditambah tekanan dari rekan-rekan kerja, perlahan mengikis batas-batas dirinya. Ia mulai terbiasa dengan gaya hidup malam, alkohol, dan mengenal berbagai jenis pelanggan. Dari sinilah, ia secara bertahap diperkenalkan pada praktik-praktik yang lebih gelap.
“Saya sebenarnya tidak mau, hati saya menolak,” ungkap Rina, suaranya tercekat menahan tangis. “Tapi mereka terus memaksa, mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan uang lebih. Saya butuh uang untuk keluarga.” Tanpa disadari, Rina semakin terjerat.
Mulai dari sekadar menemani tamu hingga terlibat dalam transaksi yang lebih terlarang. Rasa takut dan ancaman menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-harinya jika ia berani menolak atau mencoba melarikan diri.
Kini, Rina merasa seolah hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Ia terikat pada sebuah jaringan yang sulit ditembus, terbebani hutang budi dan bayang-bayang ketakutan yang terus menghantuinya. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan, sambil merindukan kehidupan normal yang dulu hanya sebatas impian. (red)