KOLAKA,– Langkah Polres Kolaka yang mengarahkan laporan dugaan tindak pidana penipuan terkait sengketa lahan kebun 20,5 hektare milik Ramli ke ranah perdata, menuai sorotan tajam.
Kuasa hukum Ramli, Didit Hariadi, SH, secara terbuka menyesalkan sikap penyidik Polres Kolaka yang dianggap terburu-buru menyimpulkan, padahal proses penyelidikan belum rampung.
Didit menegaskan bahwa penyerobotan lahan tanpa sertifikat, seperti yang diduga terjadi pada kasus kliennya, jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 385 tentang penyerobotan tanah dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang melindungi hak atas tanah.
“Apa dasarnya tanah garapan, tanah kebun yang dikelola puluhan tahun dan diberikan hak kelola? Oleh karena itu, pasal penyerobotan lahan dan pasal penipuan juga harus tuntas dibaca pasal per pasal. Jangan gagal paham dan sesat logika memaknai KUHP,” tegas Didit Hariadi, Kamis (19/6).
Ia mempertanyakan dasar penyidik mengambil kesimpulan mengarahkan kasus ke perdata, mengingat pemanggilan saksi dan terlapor baru saja dilakukan, bahkan gelar perkara untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana belum dilaksanakan.
“Kalo pun tidak (terbukti), kami pasti akan melakukan upaya praperadilan,” ancam Didit, mengindikasikan ketidakpuasan serius terhadap proses yang berjalan.
Sebelumnya, Kasi Humas Polres Kolaka, Iptu Dwi Arif, menyampaikan bahwa laporan Ramli diarahkan ke perdata karena pelapor belum dapat menunjukkan alas hak atas tanahnya.
“Perkaranya diarahkan ke perdata dulu, karena H. Ramli selaku pelapor didampingi PH-nya tidak dapat menunjukkan alas hak atas tanahnya,” terang Iptu Dwi Arif.
Ia berdalih bahwa putusan perdata di Pengadilan Negeri (PN) nantinya dapat dijadikan dasar untuk perbuatan pidana.
Namun, pernyataan ini justru memicu pertanyaan lebih lanjut dari pihak Ramli. Mereka bersikukuh bahwa pengelolaan lahan puluhan tahun dan pemberian hak kelola oleh PT Aneka Tambang (Antam) pada awalnya, sudah menjadi dasar yang kuat, terlepas dari ada tidaknya sertifikat di awal.
Laporan dugaan penipuan ini sendiri bermula dari janji kompensasi 1 Dolar AS per SPK dan ore nikel yang tak kunjung direalisasikan oleh Perusda Aneka Usaha Kolaka sejak 2018.
Ramli sebelumnya telah melayangkan dua kali somasi, namun tidak mendapat respons dari Perusda, hingga akhirnya memutuskan melapor ke Polda Sulawesi Tenggara pada 30 Juli 2024, yang kemudian dilimpahkan ke Polres Kolaka.
Di tengah sorotan terhadap penanganan kasus ini, Didit juga mengaitkannya dengan dugaan ketidakberesan dan penyalahgunaan wewenang di tubuh Perusda Aneka Usaha Kolaka, yang sempat dirilis oleh BPK.
Ia mendesak Bupati dan DPRD Kolaka untuk turun tangan memeriksa kebenaran dugaan tersebut, termasuk dugaan nepotisme yang santer tercium.
“Dugaan nepotisme di dalam kubu Perusda Kolaka sangat wangi tercium kemana-mana. Penegak hukum harus turun tangan di bawah gerbong Bapak Kapolda yang baru saja dilantik. Ini jadi tantangan ke depan dalam penegakan keadilan,” tegas Didit, seraya menaruh harapan pada kepemimpinan Inspektur Jenderal Polisi Didik Agung Widjanarko sebagai Kapolda Sultra yang baru.
Situasi ini menempatkan Polres Kolaka di bawah pengawasan ketat publik, terutama dalam memastikan proses hukum berjalan transparan dan adil, serta tidak mengabaikan potensi pidana dalam sengketa lahan yang telah berlangsung bertahun-tahun ini. (red)