KONAWE UTARA, — Fenomena yang diistilahkan “tambang Spanyol” (separuh nyolong) di Konawe Utara (Konut) kembali menjadi sorotan. Persatuan Pemuda Pemerhati Daerah (P3D) Konut membongkar dugaan praktik penambangan ilegal yang disebut-sebut terjadi di lahan koridor Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Apolo, PT Roshini, dan PT KKA. P3D memperkirakan luas area tambang ilegal ini mencapai 5,5 hektare.
Ketua Umum P3D Konut, Jeje, tak ragu menyebut adanya aktor besar di balik dugaan penambangan ilegal di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo. Istilah “tambang koridor” dan “pelakor” (penambang ilegal di lahan orang lain) juga beredar luas di lapangan, menggambarkan modus operandi yang terjadi.
Jeje bahkan memberikan koordinat spesifik lokasi dugaan tambang ilegal tersebut: 03°23’14.98″S 122°21’24.80″E (5,5 HA) dan 03°23’26.28″S 122°20’55.40″E (3,6 HA). Area ini berada di antara lahan PT Roshini Indonesia dan PT Apolo Nickel Indonesia. Selain itu, ada juga area seluas 3,3 HA di antara lahan PT Apolo dan PT KKA.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, Jeje, yang juga aktivis HMI dan Magister Manajemen, menegaskan bahwa lokasi tambang ilegal tersebut berada di kawasan hutan lindung. Parahnya, aktivitas ini disinyalir tanpa mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan, yang jelas-jelas melanggar Pasal 158 UU Minerba dan UU Kehutanan.
Kecurigaan P3D Konut semakin kuat lantaran akses menuju lokasi tambang ilegal tersebut melewati IUP ketiga perusahaan yang disebut di atas. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa PT Roshini Indonesia, PT Apolo, dan PT KKA mengetahui adanya aktivitas penambangan tanpa izin di area sekitar konsesi mereka.
P3D Konut mendesak Gakkum Wilayah Sulawesi Tenggara, Polres Konut, dan Polda Sultra untuk segera melakukan sidak lapangan dan investigasi menyeluruh terhadap temuan ini. Hingga berita ini diturunkan, Republika masih berupaya mengkonfirmasi pihak terkait lainnya untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. **