Peristiwa

Lingkaran Setan Pencoleng BBM Solar Subsidi di Sulsel dan Sultra

78
×

Lingkaran Setan Pencoleng BBM Solar Subsidi di Sulsel dan Sultra

Sebarkan artikel ini
BBM Solar Subsidi
BBM Solar Subsidi

Solar subsidi adalah instrumen kebijakan negara untuk melindungi masyarakat rentan dan pelaku usaha kecil dari gejolak harga energi. Tapi, faktanya, para pelaku ‘pencolengan’ BBM Solar subsidi di Sulsel tengah berkutat dalam lingkaran setan seolah lebih terlindungi.

Oleh Zulkifli Malik

Setiap tahun, pemerintah menggelontorkan ratusan triliun rupiah dari APBN agar BBM jenis tertentu dapat dijual lebih murah.

Namun di Sulawesi Selatan (Sulsel), realitas di lapangan menunjukkan betapa rapuhnya kebijakan ini.

Laporan media, penggerebekan polisi, hingga keluhan masyarakat mengungkap penyalahgunaan solar subsidi yang masif, meski ketat hanya beberapa waktu saja, mulai dari penimbunan, penjualan ilegal, hingga distribusi ke pihak yang tidak berhak.

Menelisik analisis hukum yang dianut di republik ini, penyalahgunaan solar subsidi diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Pelanggaran distribusi dikategorikan sebagai tindak pidana khusus migas dengan ancaman pidana penjara dan denda.

Namun, dalam kasus tertentu, praktik ini dapat ditarik ke ranah tindak pidana korupsi, terutama bila melibatkan pejabat publik, aparat negara, atau pihak berwenang yang memanipulasi distribusi sehingga menimbulkan kerugian negara.

Kerugian negara menjadi unsur penting. Karena subsidi berasal dari APBN, setiap kebocoran akibat mafia solar otomatis menggerus keuangan negara.

Secara nasional, kasus di Sulawesi Tenggara mencatat potensi kerugian Rp105 miliar. Namun di Sulsel, angka resmi kerugian belum pernah dipublikasikan secara rinci, meski penggerebekan berulang kali terjadi dan laporan masyarakat menunjukkan kebocoran dalam skala signifikan. Ada Apa?

Minimnya transparansi inilah yang memperburuk persepsi publik bahwa penegakan hukum hanya sebatas permukaan.

Modus penyalahgunaan di Sulsel bervariasi dan menunjukkan skala yang tidak kecil. Polres Barru, misalnya, membongkar jaringan yang membeli solar subsidi dari SPBU lalu menjualnya ke luar daerah menggunakan dump truk.

Di Kabupaten Maros, polisi menemukan penimbunan dua ton solar di rumah warga dengan tandon besar. Polres Maros bahkan mengamankan sekitar 9.000 liter solar bersubsidi yang siap dialihkan.

Lagi Viral, Baca Juga  Sigap Melayani, Hasan Basri Respons Cepat Kebutuhan Medis Warga Baubau

Di Pangkep, rekaman CCTV memperlihatkan truk modifikasi mengisi solar subsidi di malam hari. Semua ini menandakan adanya sistem distribusi ilegal yang terorganisir.

Namun problem serius muncul karena pelaku yang ditindak umumnya hanyalah sopir, pengecer, atau warga yang menimbun dalam skala kecil. Sementara aktor besar yang memfasilitasi distribusi dalam jumlah ribuan liter jarang tersentuh bahkan enggan Aparat Penegak Hukum atau APH menyentuh mereka.

Fenomena “tajam ke bawah, tumpul ke atas” kembali terasa. Nelayan di Pangkep atau petani di Jeneponto terpaksa antre panjang karena solar langka, sementara jaringan mafia dengan akses khusus bisa menimbun tanpa hambatan.

Kritik publik semakin keras ketika muncul indikasi keterlibatan pejabat. Kejaksaan Negeri Takalar, misalnya, menetapkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) sebagai tersangka korupsi penyalahgunaan BBM jenis solar sejak 2018 hingga 2023 dengan kerugian ratusan juta rupiah.

Kasus ini memperlihatkan bahwa penyalahgunaan BBM subsidi tidak hanya dilakukan di lapisan bawah, melainkan juga oleh pejabat daerah. Namun, kasus semacam ini masih jarang, dan sampai kini belum ada pejabat tinggi atau perusahaan besar di Sulsel yang dijerat secara terbuka dalam konteks mafia solar subsidi.

Sementara itu, laporan audit BPK atas keuangan Pemprov Sulsel memang menemukan penyalahgunaan Rp17 miliar dan kelebihan bayar Rp156 miliar pada 2023. Meski tidak terkait langsung dengan solar, temuan itu menegaskan lemahnya tata kelola anggaran daerah.

KPK pun sempat memeriksa pegawai BPK Sulsel terkait audit keuangan Pemprov, memperlihatkan bahwa potensi manipulasi laporan bukan hal asing. Keterkaitan antara lemahnya pengawasan fiskal dan bocornya subsidi energi menjadi semakin jelas.

Kelemahan sistem distribusi solar subsidi di Sulsel juga nyata. Tidak ada integrasi data antara Pertamina, BPH Migas, dan aparat pengawas, sehingga volume penyaluran sulit dipantau akurat.

Lagi Viral, Baca Juga  Ketua FAPRI Didit Hariadi Pasang Badan, Desak Polisi Bebaskan Mahasiswa Unmul

Celah ini memungkinkan praktik barcode palsu, truk modifikasi, mobil pribadi modifikasi hingga pengalihan distribusi ke industri. Tanpa sistem berbasis teknologi yang transparan, mafia solar akan selalu menemukan cara baru untuk mengakali aturan.

Dampaknya menghantam kelompok rentan. Nelayan di Barru, Pangkep, Bone, Wajo, Takalar dan kabupaten lainnya  beberapa kali mengeluhkan sulitnya membeli solar di SPBU karena stok habis, padahal pasokan secara nasional tidak berkurang.

Kelangkaan yang terjadi beberapa waktu lalu, seolah  buatan ini membuat harga solar di lapangan melonjak, menambah beban biaya operasional nelayan, petani, hingga pelaku usaha kecil. Efek sosial-ekonomi jauh lebih luas daripada sekadar kerugian finansial negara.

Kasus-kasus di Sulsel memperlihatkan bahwa penyalahgunaan solar subsidi bukan sekadar pelanggaran pidana migas, melainkan kejahatan yang merusak keadilan sosial.

Ketika subsidi yang seharusnya menjamin kesetaraan justru dimonopoli oleh kelompok tidak berhak, negara gagal menjalankan fungsi distributifnya.

Lebih parah lagi, intimidasi terhadap wartawan kerap terjadi, seperti  di Takalar oleh mafia solar menunjukkan bahwa upaya masyarakat untuk mengawasi pun dibungkam dengan kekerasan.

Toh,  penyalahgunaan solar subsidi di Sulsel adalah kejahatan berlapis: di level bawah berupa pelanggaran distribusi, di level atas berupa tindak pidana korupsi.

Meski operasi kepolisian terus dilakukan, akar persoalan ada pada lemahnya tata kelola, minimnya transparansi audit, dan keberanian politik yang belum cukup menyasar aktor besar.

Solusi harus mencakup digitalisasi distribusi, integrasi pengawasan, dan penegakan hukum yang adil hingga ke pejabat publik atau perusahaan besar yang terlibat. Tanpa langkah itu, subsidi akan tetap menjadi ladang bancakan segelintir orang, sementara rakyat kecil terus menanggung derita.

Pertanyaannya, bagaimana jika APH ikut bermain?

Kalau aparat penegak hukum justru seolah melakukan pembiaran atau bahkan diduga ikut bermain dalam mafia solar subsidi, maka analisisnya akan menjadi lebih serius, karena problem bukan hanya ada pada pelaku lapangan, tapi juga pada institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir hukum.

Lagi Viral, Baca Juga  Polemik Dana CSR PT Vale Memanas! Ketua DPRD Siap Bongkar Borok

Dampaknya pun  bisa dilihat di beberapa aspek, seperti;

1. Legitimasi hukum runtuh.
Ketika masyarakat melihat aparat hanya menyasar penimbun kecil tapi membiarkan jaringan besar, publik akan menilai hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika aparat bahkan ikut bermain, hukum kehilangan legitimasi moral dan sosial.

2. Mafia makin kuat.
Pembiaran menciptakan rasa aman bagi pelaku besar. Mereka bisa mengoperasikan jaringan dengan leluasa, karena tahu pengawas seharusnya justru melindungi. Bahkan bisa terjadi “jual beli perlindungan”, di mana aparat yang seharusnya menindak justru menjadi tameng mafia.

3. Kebijakan subsidi jadi sia-sia.
APBN yang mengucurkan ratusan triliun rupiah tidak lagi efektif. Subsidi yang diniatkan untuk nelayan, petani, dan UMKM justru disedot kelompok kuat yang memiliki “beking”. Pada akhirnya, rakyat kecil tetap menanggung harga mahal, sementara negara merugi dua kali: secara fiskal dan kepercayaan publik.

4. Potensi tindak pidana korupsi meluas.
Jika aparat ikut bermain, maka pasal Tipikor jelas bisa diterapkan. Keterlibatan oknum aparat dalam mengawal, melindungi, atau bahkan berbagi keuntungan dari penyelewengan subsidi masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara. Ini bukan lagi tindak pidana migas, tapi korupsi terstruktur.

5. Lingkaran setan sulit diputus.
Selama aparat tidak benar-benar independen, pemberantasan mafia solar akan mandek. Setiap operasi hanya berhenti di pelaku kecil. Jaringan besar tidak pernah terungkap karena sudah ada kolusi dari hulu ke hilir. Publik akhirnya apatis, menganggap kasus mafia solar hanya “ritual tahunan” tanpa solusi nyata.

6. Risiko sosial-politik.
Masyarakat yang kehilangan kepercayaan pada aparat bisa mengambil jalan sendiri, misalnya melakukan protes, blokade SPBU, atau melawan secara anarkis. Jika ini meluas, pemerintah daerah dan pusat bisa menghadapi krisis legitimasi, karena subsidi energi adalah isu yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan sehari-hari rakyat. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
error: Content is protected !!