KONAWE SELATAN,– Isu mengenai dugaan aktivitas pembukaan hutan ilegal di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menjadi perbincangan hangat.
Tuduhan yang mengarah pada PT. Pandu Urane Perkasa perlu dikaji ulang. Berdasarkan data dan pernyataan resmi, narasi yang beredar di publik tidak memiliki dasar yang kuat.
PT. Pandu Urane Perkasa, perusahaan yang disebut-sebut terlibat, memiliki izin resmi untuk menambang nikel.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam lingkup Operasi Produksi ini berlaku sejak 11 Januari 2017 hingga 10 Januari 2032, dengan area konsesi seluas 1.665,00 hektare.
Perusahaan ini beroperasi di Desa Wawowonua, Kecamatan Palangga Selatan, Kabupaten Konawe Selatan.
Fakta ini diperkuat oleh pernyataan dari pihak berwenang. Hardesun, SP., Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Unit XXIV Gularaya, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, menegaskan bahwa area IUP PT. Pandu Urane Perkasa berada jauh dari kawasan hutan.
“Area IUP PT. Pandu Urane Perkasa itu lokasinya sangat jauh dari kawasan hutan,” jelas Hardesun saat di konfirmasi Perdetiknews Selasa(23/9).
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Unit XXIV Gularaya, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara mematahkan narasi yang beredar di publik.
Pernyataan ini didukung oleh data resmi pemerintah, yang bisa merujuk pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) No. SK.6623/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021. Keputusan ini memuat peta yang mendokumentasikan kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Tenggara hingga tahun 2020.
Dengan demikian, tuduhan pembukaan hutan ilegal yang dialamatkan kepada perusahaan tersebut menjadi tidak berdasar.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi publik untuk bersikap kritis terhadap informasi yang beredar.
Prinsip praduga tak bersalah harus selalu ditegakkan. Sebuah perusahaan tidak bisa divonis bersalah hanya berdasarkan dugaan atau isu yang belum terverifikasi kebenarannya.
Dengan adanya klarifikasi dari pejabat Dinas Kehutanan yang didukung data resmi KLHK, narasi yang beredar perlu dikoreksi. (red)