KENDARI – Nilai Sumpah Pemuda 1928 yang mengedepankan persatuan kini menghadapi tantangan baru: polaritas dan disinformasi di ruang digital. Menjelang satu abad usianya, ikrar para pemuda itu diuji oleh derasnya arus informasi yang kerap memecah belah wacana.
Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka (ASR), memanfaatkan momen peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 untuk mengirim pesan tegas. Saat memimpin upacara, ia menekankan, “Pemuda bukan pelengkap sejarah, tetapi penentu sejarah.”
Pernyataan ASR ini, yang sejalan dengan Teori Human Capital, menempatkan generasi muda sebagai aktor utama pembangunan berkelanjutan. ASR mendesak pemuda Sultra untuk menggeser arena perjuangan ke sektor kreativitas dan keilmuan, meninggalkan perpecahan diksi yang marak di media sosial.
ASR menyoroti bagaimana kebebasan berekspresi di media sosial, jika tanpa kedewasaan, dapat menjadi alat perpecahan. Ia menekankan pentingnya pendidikan karakter dan etika sosial.
“Diksi yang santun menjadi bentuk kecerdasan sosial,” kata ASR. Seruan ini menggarisbawahi Teori Social Responsibility, bahwa kebebasan harus diimbangi dengan tanggung jawab moral.
Gubernur yang dinilai menerapkan gaya kepemimpinan transformasional ini, mengajak pemuda Sultra untuk membangun daerah dengan etos kerja dan disiplin sosial yang tinggi. Tantangan masa kini, menurutnya, bukanlah penjajahan fisik, melainkan penjajahan pikiran dan informasi.
Oleh karena itu, pemuda Sultra didorong menjadi “pejuang literasi digital“: berani berpikir kritis, bijak bersikap, dan santun berkomunikasi. Momentum Sumpah Pemuda kali ini menjadi titik balik untuk menuntut kebijaksanaan bermedia dan memperkuat komitmen terhadap kepemimpinan yang visioner. (red)










