Oleh: Muh. Arham (fungsionaris LKPD Sultra)
Innalillahi… Om Udin berpulang,
Surga bagimu, di sisi Tuhan benderang.
Namun, tanya ini menikam kalbu:
Kenapa diam? Kalian membisu?
Asap rokokkah terlalu nikmat dihela?
Kopi di meja, cerita terlalu sela?
Atau kursi empuk, ruang berpendingin,
Membuat gerak terhenti, langkah tak ingin?
Wahai pemimpin, di sana terkapar,
Rakyatmu syahid, nafkah dicakar
Keris yang keji, di terminal berdiri,
Tempat berlalu lalang, fasilitas negeri.
Bolehkah senjata tajam merobek subuh?
Merenggut nyawa sopir, dalam keluh?
Kenapa diam, wahai penguasa negeri?
Hanya sopirkah? Dia juga pemberi
Keringat halal, untuk sesuap nasi,
Rakyatmu jua, kelak kau pertanggungjawabi.
Darahnya membasahi pagi kelabu,
Di Baruga pilu, Sabtu itu.
Bangunlah, pemimpin, yang baik nan dermawan!
Lihatlah gedung megah, Rumah Sakit Negara konon,
Uang rakyat katanya, menjulang beton.
Dengarlah jeritan, bisikan kematian,
Tubuh berlumuran, harapan ditinggalkan.
Lembaran merah tak ada, pintu tertutup jua,
Napas terhenti, syahid menghadap Sang Pencipta.
Tanyalah rumah sakit yang katanya hebat,
Kartu jaminan negara, mengapa tak berkhasiat?
Setiap tubuh datang, ingin esok melihat,
Jika kartu tak berguna, kalian biarkan sekarat?
Mati tak terurus, di rumah sakit negara?
Negara ada karena rakyat, bukankah begitu, wahai para?
Diamkah negara melihat rakyatnya binasa?
Nilai kemanusiaan, kemana ia bersembunyi, di mana?
Dia sopir biasa, mencari rezeki mulia,
Untuk keluarga tercinta, di rumah menanti dia.
Rakyat Indonesia, negara yang kaya,
Rakyat Sultra pula, tanah pusaka.
Rakyatmu juga, ASR yang mulia,
Kini telah syahid, surga baginya.
Selamat jalan, Om Udin yang budiman,
Alfatihah dan Yasin, hadiah perpisahan.
Untuk arwahmu yang suci, di sisi Tuhan.
DAN KALIAN MASIH DIAM!
