JAKARTA, – Anjloknya harga nikel global menjadi sorotan utama dalam wacana akuisisi aset smelter PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
Meskipun kondisi ini menekan industri, sejumlah pihak justru melihatnya sebagai momen yang tepat bagi Danantara untuk mengambil alih GNI dengan valuasi yang lebih rendah.
Asosiasi Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AIPI) melalui Sekretaris Jenderalnya, Haykel Hubeis, menyuarakan kekhawatiran terkait kondisi pasar saat ini.
Ia menyebut industri smelter nikel pirometalurgi, termasuk GNI, sedang menghadapi tantangan besar akibat harga komoditas yang terus menurun dan pasokan bijih nikel yang tidak terjamin.
“Menurut saya industri nikel ini memang menarik. Akan tetapi, sekarang kan kondisinya juga kita tahu semua ya kondisinya juga kurang bagus kemudian di internasional juga tidak baik-baik saja juga,” kata Haykel.
Meski demikian, Haykel tetap meminta Danantara untuk cermat. Jika akuisisi terwujud, Danantara harus siap bersaing dengan mendorong operasional GNI agar lebih efisien dan memperbarui teknologi yang dimiliki.
Di sisi lain, Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, justru memandang kelesuan harga nikel sebagai peluang emas.
Menurutnya, kondisi pasar yang tertekan membuat valuasi harga PT GNI, yang juga terdampak masalah keuangan perusahaan induknya di China, menjadi jauh lebih rendah.
“Dengan kondisi saat ini yang kurang menarik tentu akan berpengaruh kepada harga akuisisinya dan umumnya akan jauh lebih murah daripada kalau akuisisi dilakukan pada saat kondisi harga komoditas sedang tinggi-tingginya atau perusahaan sedang dalam posisi sangat menguntungkan,” jelas Rizal.
Untuk itu, Rizal mendorong Danantara untuk segera mewujudkan rencana akuisisinya. Ia menegaskan, Danantara memiliki posisi tawar yang bagus sebagai bagian dari bisnis pemerintah.
Namun, ia juga tetap mengingatkan agar Danantara melakukan due diligence secara ketat dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk kondisi teknologi smelter dan kelesuan pasar.
Sebagai informasi, sejak awal 2025, GNI telah memangkas kapasitas operasionalnya menjadi hanya 30%—40% dari total, atau menjalankan 12 dari 25 lini produksinya.
Hal ini salah satunya dipicu oleh krisis keuangan perusahaan induknya di China dan penurunan harga nikel global.
Harga nikel di London Metal Exchange (LME) pada Kamis (14/8) berada di level US$15.264 per ton, terkoreksi 0,44% dari penutupan perdagangan sebelumnya.
CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, sebelumnya telah mengonfirmasi bahwa pihaknya tengah mengkaji peluang investasi di smelter GNI.
Proses kajian ini masih berlangsung untuk memastikan kelayakan investasi. (ReRed)