Oleh: Nang Bagia/Kadek Yogiarta
Saya membaca sebuah berita daring tentang Rapat Koordinasi, Advokasi, dan Penguatan Kapasitas Stakeholder Perencanaan Kawasan Transmigrasi yang digelar di Hotel Claro Kendari pada Senin, 4 Agustus 2025. Gubernur Sulawesi Tenggara mengungkapkan, ada 11 kawasan transmigrasi yang tersebar di 10 kabupaten, termasuk tiga kawasan prioritas nasional. Kawasan tersebut antara lain Mutiara (Kab. Muna), Asinua-Routa (Kab. Konawe), dan Anawua-Toari (Kab. Kolaka).
Sebagai anak dari keluarga transmigrasi Bali, saya menyambut kabar ini dengan gembira. Saya lahir dan dibesarkan di tanah transmigrasi Sulawesi Tenggara, tepatnya di Desa Tawamelewe—kini mekar menjadi tiga desa, salah satunya Desa Tanggondipo, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe—42 tahun silam. Kakek dan bapak saya datang ke sini melalui program transmigrasi tahun 1974, ketika kehidupan sangat sulit.
Masa Kecil dalam Keterbatasan
Saya masih ingat jelas bagaimana orang tua saya, terutama ibu (dalam bahasa Bali disebut meme), harus memasak nasi dengan campuran ubi dan jagung. Beras saat itu sangat terbatas, hingga ibu saya sering menyisihkan sedikit nasi putih khusus untuk saya yang kala itu masih kecil dan enggan makan makanan campuran. Dalam budaya Bali, kami menyebutnya “nasi oran”. Kini, makanan sederhana itulah yang justru saya rindukan karena mengandung cerita, ketulusan, dan ketabahan.
Sawah di lahan kedua pembagian transmigrasi belum dibuka saat itu. Lahan pertama pun masih berupa lahan kering yang bisa dimanfaatkan seadanya karena belum tersedia irigasi. Kami bersyukur, pohon jambu biji berbuah lebat dan ikan rawa mudah ditangkap, jadi kami tidak sampai kelaparan, tetapi kami hidup dalam perjuangan. Rumah jatah transmigrasi terbuat dari papan, beratap seng dengan alas tanah, menjadi awal mula kami memulai hidup. Tidak ada listrik, dan untuk menyapa tetangga, kami harus melewati semak belukar yang lebat karena setiap keluarga mendapat pekarangan seluas satu hektar.
Bapak dan kakek saya bekerja siang malam. Beberapa kali, kakek saya bahkan berkeliling ke masyarakat lokal untuk mencari kenalan dan pulang membawa beberapa butir kelapa atau bahan kayu untuk membuat bajak sawah. Sawah harus dibuka secara manual, membajak dengan sapi, dan membangun irigasi secara gotong royong. Di tahun 90-an, sepulang sekolah, saya harus ikut ke sawah di lahan kedua pembagian transmigrasi untuk membantu orang tua meratakan tanah. Semua kami lakukan agar sawah terbuka dan ada harapan untuk menanam padi.
Dari Lahan Semak Menjadi Lumbung Pangan
Lima puluh tahun telah berlalu, dan kini kita semua dapat menyaksikan perubahan signifikan di beberapa wilayah transmigrasi. Jalanan depan rumah telah diaspal, rumah-rumah sudah permanen, listrik menjangkau seluruh pelosok desa, dan anak-anak dari keluarga transmigran telah bisa menempuh pendidikan tinggi, bahkan bekerja sebagai ASN, TNI, dan Polri. Saya generasi ketiga, dan saya bangga menyebut Sulawesi Tenggara sebagai tanah kelahiran saya.
Melalui program transmigrasi, masyarakat lokal di Sultra mengenal dan mempelajari cara bersawah yang lebih sistematis, teknik berkebun yang lebih produktif, dan pengelolaan lahan yang lebih efisien. Para transmigran dari Jawa dan Bali membawa serta pengalaman dalam bercocok tanam, pola tanam bergilir, irigasi sederhana, hingga tata kelola lahan yang terukur. Tidak bisa dimungkiri, beberapa kawasan transmigrasi kini telah berkembang menjadi sentra produksi pangan daerah. Kabupaten Konawe, Kolaka Timur, hingga Bombana kini dikenal sebagai tulang punggung penyedia pangan Sulawesi Tenggara.
Bukan Sekadar Pindah, tetapi Membangun Masa Depan
Transmigrasi bukan hanya sekadar pemindahan penduduk, tetapi sebuah upaya rekayasa sosial yang efektif dan telah terbukti berhasil. Ia melahirkan kolaborasi antarkebudayaan antara masyarakat lokal dan pendatang. Terjadi pertukaran pengetahuan, pengalaman, perubahan pola kerja, dan pembauran budaya yang saling melengkapi dan memperkaya. Di banyak tempat, transmigrasi menciptakan kehidupan sosial yang lebih harmonis, bahkan melahirkan perkawinan lintas budaya yang memperkuat rasa persaudaraan dan persatuan bangsa.
Namun, harus jujur kita akui bahwa tidak semua kisah transmigrasi berjalan mulus. Banyak juga masalah yang terjadi, seperti konflik agraria. Salah satunya pernah terjadi di desa saya dan kondisinya berulang. Perselisihan antara warga lokal dan warga transmigran tentang klaim kepemilikan lahan telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Untungnya, pada 21 Juli 2025, Pemerintah Kabupaten Konawe mengeluarkan maklumat resmi yang menyatakan konflik tersebut telah selesai. Pelajaran penting dari pengalaman ini adalah bahwa negara harus hadir, tidak hanya di awal program, tetapi juga secara cepat dan berkelanjutan dapat menyelesaikan setiap masalahnya sesuai peraturan yang berlaku tanpa berat sebelah.
Menatap Masa Depan: Transmigrasi yang Berkeadilan
Saya melihat Provinsi Sulawesi Tenggara masih banyak menyimpan ruang untuk dikembangkan. Lahan-lahan kosong masih terbentang luas, terutama di wilayah kepulauan dan pedalaman. Bila dikelola secara bijak dengan pendekatan transmigrasi modern yang lebih partisipatif, ekologis, dan berbasis budaya lokal, saya yakin ekonomi daerah bisa tumbuh pesat dan setara dengan daerah lain di Indonesia.
Saya menulis ini bukan sekadar nostalgia. Saya ingin berbagi cerita dan juga suara kami, sebagai anak-anak transmigrasi, menjadi bagian dari narasi pembangunan daerah. Kami bukan “pendatang” yang numpang hidup, tetapi warga negara yang turut serta mengembangkan, menanam, dan membangun daerah tercinta ini. Saya sangat percaya, dengan kerja keras, keadilan, dan keberpihakan negara, transmigrasi bisa kembali menjadi harapan masa depan Indonesia yang merata dan berdaya, khususnya di Bumi Anoa, Sulawesi Tenggara. **