BOMBANA – Drama perizinan di Kabupaten Bombana makin meruncing. Sebuah rekomendasi kesesuaian tata ruang untuk pembangunan kawasan industri yang dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) setempat menjadi sorotan utama.
Pasalnya, rekomendasi bagi PT Sultra Industrial Park (PT SIP) ini ditengarai “siluman”, sebab terbit di atas lahan yang masih dikuasai Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif milik perusahaan lain.
Dokumen rekomendasi bernomor 503.14/0004/DPMPTSP/04/2025 yang diteken pada April 2025 itu, sejatinya untuk pembangunan kawasan industri dan sarana penunjangnya di Desa Wumbubangka, Kecamatan Rarowatu Utara.
Namun, hasil penelusuran menunjukkan area yang direkomendasikan PT SIP tersebut tumpang tindih dengan lahan IUP aktif milik dua perusahaan tambang emas yakni PT Panca Logam Makmur (PT PLM) seluas 1.210 hektare yang izinnya masih berlaku hingga 23 Desember 2025, serta PT Anugrah Alam Buana Indonesia (PT AABI) seluas 2.000 hektare yang memiliki izin hingga 10 Januari 2031.
Laode Tuangge, Ketua Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik Sulawesi Tenggara (LPK Sultra), tak sungkan menyebut kebijakan ini sebagai kekeliruan fatal. “Ini jelas sebuah kekeliruan yang dapat berakibat fatal,” ujarnya tegas.
Persoalan tak berhenti pada tumpang tindih lahan. LPK Sultra juga mencium adanya pelanggaran tata ruang yang lebih besar. Lokasi rekomendasi kawasan industri itu disinyalir berada di dalam kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan area penggunaan lain. Hal ini memicu kecurigaan kuat adanya upaya “mengakali” perubahan tata ruang yang tak sesuai koridor hukum.
Diberitakan sebelumnya Muh Andriansyah Husen, Ketua Umum Lingkar Kajian Kehutanan (LINK) Sultra, turut angkat bicara. Menurutnya, rekomendasi DPMPTSP Bombana tersebut cacat hukum. “Perubahan peruntukan tidak bisa seenaknya dilakukan selama izin tambang masih aktif.
Ini jelas melanggar aturan,” tandas Andriansyah, menegaskan bahwa perubahan tata ruang dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) menjadi kawasan industri hanya bisa dilakukan jika izin pertambangan sudah non-aktif.
Dilansir dari suarasultra.com Kecurigaan publik kian menebal. Bahkan, Wakil Bupati Bombana, Ahmad Yani, secara terbuka mengindikasikan bahwa di balik proyek kawasan industri ini, PT SIP sejatinya mengincar penambangan antimon.
Isyarat ini diperkuat dengan laporan pengusiran tim geologi PT SIP dari wilayah IUP PT AABI karena nekad masuk tanpa izin untuk pengambilan sampel. Sebuah manuver yang tentu saja patut dipertanyakan.
Laode Tuangge tak lelah mengingatkan. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 37 ayat (7) yang melarang pejabat menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai rencana tata ruang.
Tak main-main, Pasal 73 ayat (1) dan (2) UU tersebut mengancam pidana 5 tahun dan denda Rp500 juta, serta sanksi pemberhentian tidak hormat bagi pejabat yang melanggar.
“Maka dapat disimpulkan, bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinas DPMPTSP Kabupaten Bombana tersebut adalah jelas keliru,” pungkas Laode Tuangge.
Ia mendesak Bupati Bombana untuk segera mengevaluasi atau membatalkan rekomendasi PT SIP guna mencegah dampak hukum dan lingkungan yang lebih buruk, terutama di tengah santernya dugaan bahwa ini hanyalah kedok untuk aktivitas pertambangan. (red)