Perdetik, – Seorang pemilik toko di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, AN, melaporkan dugaan tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh tujuh oknum anggota Polda Sulsel.
Laporan tersebut resmi dilayangkan pada 12 Agustus 2025 ke SPKT Polda Sulsel, menyusul insiden yang terjadi pada 23 April 2025 di tokonya di Jalan Jenderal Sudirman, Watampone, Bone.
Menurut AN, tujuh orang yang mengaku sebagai anggota Ditreskrimsus Polda Sulsel mendatangi tokonya pada sore hari.
Mereka masuk secara sepihak dan langsung melakukan penggeledahan. Dalam aksinya, para oknum memisahkan barang dagangan yang sudah kedaluwarsa dan yang masih layak jual ke dalam satu tempat.
“Kalau memang saya bersalah, saya siap menanggung konsekuensinya. Tapi masalahnya, saya merasa tidak melakukan kesalahan karena saya tidak memperdagangkan barang-barang yang sudah kedaluwarsa,” ujar AN.
Ia menduga, para oknum memanfaatkan situasi ini untuk memeras dirinya dan keluarga.
Setelah penggeledahan, para oknum polisi menunjukkan surat perintah dan menuduh AN melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Mereka berdalih AN telah melakukan pelanggaran karena menyimpan barang dagangan yang sudah kedaluwarsa, meskipun tidak diperjualbelikan.
“Saya bingung sebenarnya, mau saya apakan itu barang? Di satu sisi, saya tidak bisa buang karena tidak boleh dibuang sembarangan. Di sisi lain, yang punya barang juga tidak mau mengambil barang yang sudah kedaluwarsa,” keluh AN.
“Sekarang saya mau dipidana karena menyimpan barang tersebut, sebenarnya saya rugi di sini, karena barang-barang yang tidak laku dan kedaluwarsa saya yang tanggung.”
Kemudian, salah satu oknum polisi mengajak AN ke sebuah warung kopi di depan tokonya.
Di sana, AN diminta menghadap dan ditunjukkan nominal uang sebesar Rp50 juta melalui ponsel. Saat AN bertanya untuk apa uang tersebut, pelaku hanya menjawab, “Yah, mengerti mako saja.”
Karena AN tidak menyanggupi, pelaku menurunkan nominalnya menjadi Rp15 juta, dengan tambahan setoran Rp2 juta setiap bulan.
Pelaku juga mengatakan AN akan menjadi bagian dari “keluarga” sambil memperlihatkan daftar nama yang juga telah direkrut. Tak hanya itu, AN juga dipaksa menandatangani surat pernyataan yang menurut para oknum adalah syarat administrasi.
Kepala Advokasi LBH Makassar, Muhammad Ansar, menduga kuat masih banyak korban lain yang mengalami hal serupa namun tidak berani melapor. Ansar menilai, apa yang menimpa AN adalah persoalan struktural.
“Kami khawatir, persoalan ini justru akan semakin berpeluang terjadi kembali di masa mendatang. Draf RKUHAP yang sedang dibahas justru memberikan diskresi yang luas bagi aparat kepolisian dalam upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan dengan alasan ‘keadaan mendesak’ yang kabur, berpotensi melegitimasi penyalahgunaan kewenangan,” jelas Ansar.
Ansar menambahkan, tindakan pengumpulan barang dagangan oleh aparat seharusnya masuk kategori penyitaan.
Namun, berdasarkan Pasal 38 KUHAP, penyitaan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri.
Menurutnya, dugaan pelanggaran prosedur ini jelas, seperti tidak adanya izin penyitaan dan adanya intimidasi serta permintaan uang yang mengarah pada tindak pidana pemerasan (Pasal 368 KUHP) atau gratifikasi.
AN kini secara resmi telah melaporkan MA dan para oknum anggota Polda Sulsel lainnya dengan dugaan melanggar Pasal 368 KUHPidana. Laporan tersebut terdaftar dengan Nomor STTLP/B/790/VIII/2025/SPKT/Polda Sulsel.**