KENDARI – Klaim lahan yang disebut-sebut masuk area Hak Guna Usaha (HGU) Koperasi Perikanan/Perempangan Soananto (Kooperson) langsung dibalas telak oleh pihak Rumah Sakit (RS) Aliyah.
Mereka menegaskan, lahan yang mereka tempati memiliki legalitas superkuat, bahkan jauh lebih tua dari keberadaan HGU tersebut.
CEO RS Aliyah, dr. Sukirman, menyatakan pihaknya sama sekali tidak pernah terlibat sengketa dengan Kooperson. Mereka memiliki bukti tak terbantahkan berupa sertifikat hak milik yang terbit sejak 1986.
“Silakan kalau ada pihak yang merasa sebagai pemilik lahan memasang patok, tapi jangan di tanahnya orang yang dipatok. Kami punya sertifikat dan tidak pernah berperkara dengan Kooperson,” tegas dr. Sukirman melalui sambungan teleponnya, Jumat (3/10/2025).
Dr. Sukirman meminta pihak luar untuk tidak sembarangan menunjuk lahan tanpa dasar bukti yang kuat. Menurutnya, perkara yang melibatkan Kooperson adalah masalah internal, bukan sengketa lahan dengan masyarakat, apalagi dengan RS Aliyah.
“Seingat kami, yang berperkara itu Ketua Kooperson dengan bendahara. Kami tidak bisa dilibatkan karena tidak ada hubungannya,” ujarnya lugas.
Ia menjamin lahan yang dikelola RS Aliyah memiliki legalitas yang jelas. Sertifikat hak milik RS Aliyah, jelasnya, merupakan pecahan dari sertifikat induk yang terbit pada 1974.
“RS Aliyah punya sertifikat pecahan dari induk tahun 1974, jauh sebelum keberadaan Kooperson. Kami warga tidak pernah berperkara dengan pihak Kooperson. Yang berperkara itu pengurusnya, antara ketua dengan bendahara,” tandasnya.
Bukan hanya soal sertifikat, dr. Sukirman juga menyerang balik dasar klaim yang dipakai Kooperson, yakni HGU.
Ia menegaskan, HGU tersebut sudah lama mati dan tidak berlaku lagi.
“HGU yang mereka sebut itu sudah dicabut. Surat pencabutannya ada di saya dan juga di BPN. HGU Kooperson itu batasnya 25 tahun dan berakhir 30 Juli 1999,” bebernya.
Setelah masa berlaku habis, lahan tersebut diambil alih negara dan tidak bisa diperpanjang karena semua pengurus Kooperson sudah meninggal dunia.
“Kalau tanah saya yang diklaim, saya akan gugat. Sertifikatnya jelas, tahun terbitnya jelas, dan sampai sekarang tidak ada masalah. Kalau dicek di aplikasi BPN langsung terplot tanah saya,” tutupnya, menyatakan siap menempuh jalur hukum atas segala bentuk klaim sepihak.
Sementara itu, Faisal Ahmad selaku kuasa hukum warga mengungkap fakta yang melemahkan upaya eksekusi Kopperson. Ia menegaskan, sebelum SK Gubernur Nomor: 01/HGU/1974 terbit, penguasaan dan pengolahan fisik lahan sudah dilakukan masyarakat sejak tahun 1969.
Terkait putusan inkracht Pengadilan Tinggi tahun 1999, Faisal mempertanyakan proses eksekusi. Menurutnya, seharusnya ada upaya sita eksekusi sebagai pertimbangan mendahului proses eksekusi, tetapi hal itu tidak dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
“Salah satu poin utamanya adalah, berita acara dinyatakan bahwa tidak dapat diletakkan sita eksekusi. Alasannya, terdapat kurang lebih ratusan masyarakat yang memiliki rumah dan menguasai lahan ini, tetapi tidak ikut digugat,” jelas Faisal saat ditemui di kediaman warga, Rabu 29 Agustus 2018.
Ia juga menyoroti kejanggalan pada proses penunjukan batas. “Pada saat pemohon eksekusi (Kopperson) hadir untuk dimintai penunjukan batas bersama BPN, pihak penggugat justru tidak mengetahuinya,” tambahnya.
Faisal juga menemukan kejanggalan dalam SK HGU. Dalam SK tersebut, tertera HGU berlaku selama 15 tahun, namun di sisi lain dinyatakan pemberian HGU itu dilakukan mulai 1974 hingga 1999 (25 tahun).
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa perpanjangan HGU pasca-berakhir hanya dapat dilakukan dengan dua syarat: lahan masih dikuasai dan masih diusahakan. “Faktanya, lahan itu tidak pernah dikuasai dan tidak pernah ada upaya Kopperson untuk mengelola lahan ini sebagaimana izinnya yakni perempangan. Justru yang mengelolanya adalah warga,” tegasnya.
Paling krusial, Faisal menunjuk adanya dugaan dualisme badan hukum:
- Badan hukum yang mengajukan gugatan awal (1993) adalah koperasi yang didirikan tahun 1970 atau 1971.
- Sementara, pada saat permintaan eksekusi, yang mengajukan diri sebagai pemohon adalah badan hukum pendirian tahun 2016.
“Hal itu adalah dua badan hukum berbeda dengan nama yang identik, tapi pengadilan silap menilai itu. Dalam Akta yang diajukan merupakan pendirian, bukan akta perubahan pengurus koperasi, yang menunjuk para pemohon ini sebagai pengurus baru. Yang dilakukan para pemohon ini, seolah-olah merekalah pemegang HGU yang mengajukan gugatan pada 1993 silam, padahal berbeda,” tutup Faisal.
Sebelumnya ramai diberitakan, Kuasa Khusus Kopperson Fianus Arung selaku pemohon dalam sengketa lahan tersebut, mengklaim bahwa tanah seluas 21 hektare yang saat ini dikuasai oleh masyarakat setempat, merupakan aset milik koperasi tersebut. Klaim ini didasari atas Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada Kopperson pada tahun 1974 lalu.
Dalam perjalanannya, lahan tersebut kemudian dikuasai oleh masyarakat setempat, yang dikuatkan dengan bukti kepemilikan yakni sertifikat yang diterbitkan pihak BPN.
Hal yang mendasari kengototan para pengurus baru koperasi tersebut untuk menguasai kembali lahan itu adalah putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) dari Pengadilan Tinggi, yang diterbitkan pada tahun 1999 silam.  (red)










