Daerah

Dilema Bombana, Warga Merana, PT TBS Diduga Kebal Aturan

370
×

Dilema Bombana, Warga Merana, PT TBS Diduga Kebal Aturan

Sebarkan artikel ini

Kendari, Suara protes dari Lingkar Kajian Kehutanan (LinK) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggema di Markas Polda Sultra, Kamis, 14 Agustus 2025.

Dalam unjuk rasa yang bertepatan dengan musim kemarau ini, mereka mendesak aparat kepolisian segera mengusut dugaan pencemaran lingkungan yang serius di Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana.

Fokus sorotan tertuju pada aktivitas penambangan nikel PT Tambang Bumi Sulawesi (TBS) yang dianggap biang keladi kerusakan ekosistem.

Ketua Eksekutif Nasional LinK Sultra, Muh Andriansyah Husen, tak tanggung-tanggung menuding PT TBS telah “merusak lingkungan yang berpotensi merugikan masyarakat lokal dan lingkungan hidup secara umum serta mengganggu kesehatan masyarakat sekitar.”

Menurut Andriansyah, investigasi lapangan yang mereka lakukan pada 26 Juli 2025 memunculkan bukti-bukti mencolok.

“Beberapa aliran kali dan pesisir pantai di Desa Puununu dan Pongkalaero berubah menjadi warna merah dan kecokelatan akibat lumpur merah yang terbawa arus,” jelasnya.

Fenomena ini, kata dia, bukan kejadian tunggal. Sebelumnya, pada 12 Januari 2025, Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan (AMPLK) Sultra juga telah menyoroti hal serupa.

Ketua AMPLK, Ibrahim, menuding perusahaan tidak membuat kolam pengendap (sediment pond) sesuai kaidah penambangan yang baik.

Menanggapi desakan ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra, Andi Makkawaru, mengakui adanya pencemaran.

Namun, ia berkelit bahwa kewenangan pengawasan awalnya berada di Pemerintah Kabupaten Bombana sebelum diserahkan ke provinsi.

Ia juga menyoroti lambatnya proses hukum, beralasan perlu data terakreditasi untuk menindak perusahaan.

“Harusnya saya sepakat bahwa artinya negara itu hadir, pemerintah daerah juga provinsi hadir,” kata Makkawaru, sebuah pernyataan yang terkesan mengambang dan normatif.

Kebingungan birokrasi ini semakin tampak ketika Kepala Bidang Penanggulangan Pencemaran DLH Sultra menyebut belum menerima surat terkait hasil pengawasan pada Februari 2025.

Lagi Viral, Baca Juga  Ivan Sugiamto Ditahan, Disambut Teriakan 'Sujud dan Gonggong' di Polrestabes Surabaya

Desakan terhadap PT TBS bukan hanya datang dari lokal Sultra. Pada 10 Juli 2025,

Gerakan Aktivis Peduli Hukum Sulawesi Tenggara (GAPH-SULTRA) juga menggelar aksi demonstrasi di depan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta.

Mereka menuntut pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT TBS secara tegas.

Tomi Dermawan dari GAPH-SULTRA menyebut kelalaian perusahaan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai penyebab utama.

Tanpa kolam sedimen dan fasilitas penahan limbah yang memadai, pencemaran meluas, merusak lahan pertanian, dan mengancam mata pencaharian nelayan.

“Kami mendesak KLHK untuk mencabut IUP PT TBS dan mengusut dugaan pelanggaran hukum lingkungan,” tegas Tomi.

Dalam aksinya, mereka menyerahkan bukti-bukti dokumentasi banjir, pencemaran, dan kesaksian warga. Menurut Tomi, dasar tuntutan hukum mereka merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta regulasi terkait lainnya.

Rentetan protes dari berbagai pihak ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan yang ditimbulkan PT TBS bukan lagi isu lokal, melainkan persoalan serius yang mendesak penanganan segera dari aparat penegak hukum dan pemerintah pusat. (Res)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
error: Content is protected !!