Makassar, – Di tengah keramaian Jalan Perintis Kemerdekaan yang tak pernah tidur, ada kisah-kisah hati yang remuk, tersembunyi di balik senyum paling ceria sekalipun. Ini adalah kisah Maya (bukan nama sebenarnya), 28 tahun, seorang wanita yang kini hidup dalam bayang-bayang luka yang dalam, akibat pengkhianatan yang tak pernah ia duga. Wajahnya memang masih memancarkan paras cantik, namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan lara yang terus menggerogoti.
“Awalnya saya kira dia adalah jawaban doa-doa saya,” tutur Maya dengan suara bergetar, jemarinya memilin ujung selendang. Kami bertemu di sebuah kafe, tempat ia bekerja sebagai barista. Kisahnya adalah potret nyata bagaimana cinta, yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, justru bisa menjadi pisau bermata dua yang menghujam jantung.
Maya dan Andi (bukan nama sebenarnya) telah menjalin kasih selama lima tahun. Sebuah hubungan yang penuh liku, yang tak hanya melibatkan ikatan emosional mendalam, tetapi juga kedekatan fisik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jalinan cinta mereka. Maya selalu yakin bahwa Andi adalah takdirnya. Janji-janji manis terucap, mimpi-mimpi masa depan dibangun bersama. Mereka berencana menikah akhir tahun ini, membangun keluarga kecil yang hangat. Namun, semua itu hancur berkeping-keping dalam satu malam.
“Saya menemukannya, di apartemen temannya,” kata Maya, napasnya tercekat. “Bersama wanita lain.” Dunia Maya seolah runtuh. Bukan hanya karena melihat kekasihnya bersama wanita lain, tetapi karena pengkhianatan itu datang dari orang yang paling ia percaya, orang yang selama ini menjadi sandarannya, bahkan yang telah berbagi keintiman dengannya. “Rasanya seperti jantung saya dicabut paksa. Lebih sakit dari dicambuk, lebih perih dari disayat,” ungkapnya, air mata mulai mengalir deras.
Luka itu bukan hanya sekadar cemburu. Ini adalah luka pengkhianatan atas kepercayaan, atas janji-janji yang diucapkan, dan atas lima tahun hidup, termasuk segala kebersamaan fisik yang tulus, yang ia dedikasikan. Setiap ingatan tentang momen-momen manis bersamanya kini terasa seperti racun, mengubah kenangan indah menjadi pahit yang tak tertahankan.
Namun, sakitnya hati Maya tak berhenti di situ. Beberapa waktu setelah perpisahan menyakitkan itu, ia baru menyadari bahwa Andi tidak hanya mengkhianati hatinya, tetapi juga menipunya habis-habisan. Uang tabungan yang seharusnya untuk modal usaha kecil mereka, bahkan perhiasan peninggalan ibunya, lenyap tak bersisa dibawa Andi. Maya terpuruk, terlilit utang, dan tak punya tempat kembali.
Terdesak kebutuhan hidup dan himpitan utang yang menumpuk, Maya yang putus asa menemukan dirinya di ambang jurang. Dalam keputusasaan itulah, ia terjerumus ke “dunia malam”. Awalnya hanya sebagai cara untuk bertahan hidup, melunasi utang, dan mengirim sedikit uang ke kampung agar keluarganya tidak tahu penderitaannya. Kini, ia menjadi bagian dari keramaian malam, memaksakan senyum di antara tawa para pelanggan, sementara hatinya terus menjerit. “Saya tidak punya pilihan lain saat itu,” ujarnya lirih, matanya kosong. “Dia tidak hanya merenggut cinta saya, tapi juga kehidupan saya.”
Kini, setiap hari adalah perjuangan bagi Maya. Tidurnya tak tenang, nafsu makannya hilang. Senyumnya hanya sebuah topeng untuk menutupi kekosongan di dalam. Ia sering termenung, mencoba memahami mengapa semua ini terjadi padanya. Perasaan sakit hati yang mendalam telah mengubahnya. Dari seorang wanita yang penuh semangat, kini ia lebih sering menyendiri, enggan berinteraksi, dan sulit mempercayai orang lain.
Kisah Maya adalah pengingat bahwa di balik gemerlap dan kesibukan kota, ada banyak hati yang terluka, banyak jiwa yang bergulat dengan duka yang dalam. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk memiliki empati dan dukungan bagi mereka yang sedang berjuang melawan sakit hati. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah telinga yang mau mendengar, bahu untuk bersandar, atau sekadar pengakuan bahwa apa yang mereka rasakan adalah valid.
Meskipun jalan Maya masih panjang untuk pulih sepenuhnya, satu hal yang pasti: luka akan mengajarkan kekuatan. Semoga Maya menemukan kembali cahaya dalam dirinya, dan menyadari bahwa ia jauh lebih berharga dari luka yang ia rasakan. (red)